Awalnya, dia mengira akan ditahan oleh atasannya ketika ia ingin resign. Ya, sebenarnya dia tidak terlalu niat untuk resign selain hanya sebagai “gertakan” halus semata terhadap atasannya. Pengabdiannya selama belasan tahun dan performance nya yang menurut dia selalu baik tak menjadikan dia naik level. Hingga belasan tahun bekerja di perusahaan manufaktur tersebut jabatannya tetap sama, tidak berubah. Padahal teman-teman seangkatannya sudah menjadi manajer. Merasa kecewa dengan hal tersebut, dia berniat untuk “pura-pura” resign. Harapannya adalah sang bos menghalangi dia untuk resign dan menawarkan jabatan baru yang lebih tinggi. Namun, ternyata apa yang ia bayangkan tak sesuai dengan kenyataan. Atasan malah menyetujui surat pengunduran dirinya tanpa basa basi.Kecewa tentu saja. Namun, beberapa kawan secara tidak sengaja membicarakan pegawai tersebut, bahwa mengapa dia tetap stagnan di satu posisi tersebut adalah karena dia kurang bisa membawa diri. Orangnya terlalu sok pintar dan sok tahu serta menganggap orang lain lebih rendah daripada dirinya. Ehm… sebuah permasalahan yang sangat sepele sebenarnya, tidak ada hubungannya dengan kemampuan intelektual bukan.
Lain lagi dengan Hendy. Sebenarnya dia tergolong biasa-biasa saja. Bisa dibilang, masih banyak teman-teman dia yang jauh lebih pintar dan cerdas daripada dia. Namun, kemampuan dia untuk membawa diri serta sikapnya yang baik mampu membawanya kepada puncak kesuksesan. Ketekunan dan kesungguhan dia mampu meluluhkan hati orang-orang di sekitarnya termasuk atasannya. Itu sebabnya ia dipromosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Dari contoh kasus di atas kita bisa melihat bahwa hard skill saja tak cukup. Setiap orang memerlukan soft skill dan tidak hanya hard skill. Soft skill bisa mempengaruhi hard skill, sebaliknya terlalu berbangga diri dengan hard skill yang dimiliki akan membuat soft skill menurun karena dianggap tidak penting.
Apa itu hard skill dan apa itu soft skill?
Hard skill adalah kemampuan yang biasa dipelajari di sekolah atau universitas yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan intelektual yang berhubungan dengan subyek yang dipelajari. Misalnya, seorang mahasiswa belajar akuntansi dengan harapan bahwa setelah belajar akuntansi dia bisa membuat laporan keuangan. Hard skill bisa diukur dengan melakukan tes yang ada hubungannya dengan bidang yang dipelajari. Bisa dikatakan bahwa hard skill bersifak kasat mata atau nyata.
Sedangkan soft skill adalah sesuatu yang tak kasa mata/ imajiner/ abstrak. Tak seperti hard skill yang terukur dan bisa dipelajari, maka soft skill tidak dipelajari secara langsung baik di sekolah maupun universitas. Pengukurannyapun sulit. Bagaimana ukuran orang baik itu? Apa definisi orang jujur? Bagaimana cara mengetahui seseorang tersebut jujur ataukah tidak? Bagaimana cara membaca pikiran orang lain? Bagaimana cara menyenangkan orang lain? Apa yang harus dilakukan agar atasan simpati kepada kita? Bagaimana caranya agar kita bisa mengetahui apa yang mereka pikirkan tentang kita? dan hal-hal lainnya yang sejenis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Harvard University, dikatakan bahwa kesuksesan seseorang dalam bidang apapun yang sedang ia tekuni tak semata-mata karena kemampuan intelektual yang dimiliki (hard skill) namun juga kemampuan dalam mengelola emosi atau soft skill. Bahkan secara gamblang penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa 80% kesuksesan manusia ditentukan oleh bagaimana cara ia mengelola emosinya dan sisanya baru faktor bernama hard skill.
Manusia adalah Makhluk yang Subyektif!
Bila ada pertanyaan mengapa melatih soft skill itu sangat penting. Jawabannya adalah karena manusia itu adalah makhluk yang subyektif. Disadari atau tidak setiap keputusan yang kita ambil sedikit banyak entah berapa persen pasti dipengaruhi oleh faktor emosional yang ada dalam diri kita. Manusia bukanlah robot yang hanya mengenal fungus Y untuk Yes dan N untuk No.
Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah lepas dari faktor subyektivitas, diakui atau tidak.
Simak contoh kasus di bawah ini:
Bila Anda adalah seorang atasan yang sedang menyeleksi seorang pegawai, yang manakah yang akan Anda pilih bila terdapat 2 calon pegawai dengan kemampuan intelektual yang sama, yang satu sombong dan merasa sok pintar sedangkan yang satunya lagi korporatif dan ramah. Tentu yang akan kita pilih adalah yang kedua. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa kegagalan seseorang dalam meraih sesuatu kadang-kadang bukan karena ia tidak mampu untuk meraih sesuatu tersebut namun karena ia terlalu yakin bisa meraih sesuatu tersebut hingga melupakan faktor yang lain, faktor yang justru sangat penting, yaitu emosi pribadi.
Mendapatkan soft skill
Bila hard skill bisa dengan mudah kita dapatkan dengan cara belajar dan berlatih mengerjakan soal-soal. Lalu, soft skill? bagaimana cara meraih soft skill yang baik? Pertanyaan tersebut sama dengan pertanyaan “bagaimana cara meraih IPK tertinggi? “ dan jawabannya adalah dengan terus belajar dan berlatih. Semakin banyak berlatih seseorang akan semakin ahli dalam memainkan emosi yang ada dalam dirinya sehingga ia bisa me-manage emosi jenis apa yang harus dikeluarkan di setiap situasi dan kondisi yang berbeda.
Soft Skill yang Mempengaruhi Hard Skill
Pernahkah saat kita belajar atau mengerjakan sesuatu kita merasa tidak konsen bahkan terganggu karena suatu hal? mungkin memikirkan sesuatu yang penting yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang sedang kita tekuni. Ya, mungkin kita sering berada dalam kondisi tersebut. Saat itulah sebenarnya soft skill kita sedang mempengaruhi hard skill. Dikatakan sebelumnya bahwa kesuksesan seseorang 80% disebabkan karena soft skill dan selebihnya hard skill. Hal tersebut berarti soft skill bisa mempengaruhi hard skill. Bisa jadi kita tidak konsen untuk menekuni tugas yang sedang kita kerjakan karena pikiran kita tidak bisa mengendalikan emosi kita. Begitu pula sebaliknya, saat emosi kita berada dalam kondisi baik, maka tugas seberapapun banyaknya bisa kita kerjakan dengan baik.